PANGGIL AKU, BACKPACKER!
Menatap langit yang biru dari balik jendela membuatku
tersadar akan satu hal. Kehidupanku terasa hampa dan monoton. Aku menginginkan
sebuah petualangan hebat bersama seorang atau beberapa teman. Namun, kenyataan
yang kuhadapi justru aku terbelenggu di dalam sebuah rumah yang besar tanpa
penghuni. Sudah tiga bulan ini, mereka meninggalkanku tanpa pernah menanyakan
kabar. Mereka selalu dan selalu pergi keluar negeri untuk menjalankan bisnisnya
tanpa memperdulikan aku sebagai anaknya yang selalu menunggu mereka di rumah
ini. Satu hal yang masih membuat mereka memperdulikanku yaitu mentransfer
sejumlah uang ke rekening.
Kumantapkan langkah kaki ini menuju
sebuah tempat di luar sana. Setelah mengemasi beberapa barang dan baju, aku
bergegas menyelinap ke pintu belakang tanpa diketahui oleh beberapa satpam dan
pelayan rumah.
“Baiklah Luci, saatnya berpetualang
ke negeri antah berantah,” gumamku.
Akhirnya, aku berhasil menyelinap
dan untungnya satpam yang menjaga pintu belakang tengah pergi ke toilet. Udara
malam terasa menusuk tulangku, perlahan aku merapatkan jaket dan berjalan
menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dengan kerlap kerlip lampu jalanan. Tak
terasa, aku telah berjalan selama 30 menit dan menemukan sebuah tempat yang
ramai.
“Wah!! Ada pasar malam.”
Aku berjalan menyusuri beberapa
lapak makanan dan membeli aneka gorengan. Tiba-tiba, aku menabrak seorang anak
kecil yang berlari dari arah berlawanan denganku. Aku meraba isi tas ranselku
dan aku tersadar ada yang hilang.
“Hey
bocah!!! Tunggu,” teriakku.
Aku berlari sekencang-kencangnya
melewati beberapa kerumunan orang. Tak peduli orang-orang berteriak kepadaku
karena tertabrak. Bagiku dompet itu adalah hidupku.
Aku mulai mengatur napas dan mencoba
mencari sosok si bocah. Aku mengedarkan pandangan sambil mengatur napas dan
yang terlihat di sekelilingku hanya beberapa rumah kumuh dan bau sampah yang
menyengat. Samar-samar, aku mendengar ada beberapa suara orang yang tengah
melakukan sebuah transaksi. Aku berjalan perlahan dan mendekati asal suara. Tak
kusangka yang aku lihat si bocah dan beberapa preman sedang membagikan uang
dari dompetku.
“Hey
kalian!! Kembalikan uangku!”
“Ck, kupikir siapa yang datang.
Ternyata seorang cewek,” kata preman brewokan sambil membereskan uang yang
tercecer.
“Gimana Bos? Apa kita hajar terus
kita jual ke luar negeri?” kata preman bertato.
“Jangan kasar begitu kalian, tangkap
secara lembut saja. Dia tidak akan kabur,” kata Bos preman.
Mereka pikir aku cewek lemah.
Salah.. mereka salah besar, sejak kecil aku sudah dilatih ilmu bela diri yaitu
silat. Aku berusaha bersikap tenang dan mulai memasang kuda-kuda serta
memperkuat pertahanan tubuh.
“Maju kalian!!”
“Ck.. ck.. biar aku saja yang
menghadapinya Bos besar. Udin bantu aku!”
“Beres Jo, eh maksudnya bos Bejo.”
Mereka mengepungku dari arah depan
dan belakang. Rupanya mereka memiliki starategi khusus dalam menyerangku secara
bersamaan, namun aku memasang mata dan meneliti setiap pergerakan mereka.
“Hiaaaaaaaaaaaaaaat!!!”
Aku
menggunakan jurus perpaduan tendangan kearah belakang yang bertumpu pada tumit dan
pukulan pendeta dari arah depan dengan gerakan yang cepat dan tepat sasaran.
Bruuuk!!!
“Aaakkkhhh!!!”
Akhirnya,
seranganku berhasil mengenai titik kelemahan mereka namun aku harus waspada
terhadap Bos besar yang mulai memasang wajah garang.
“Cuma
segitu kemampuanmu? Kau tau siapa aku! Aku Ramon, kepala preman di wilayah ini
dan maaf saja jika wajahmu akan tergores oleh pisauku.”
Sesaat, aku mulai merinding
ketakutan melihat pisau yang dipegangnya. Namun, aku harus tetap tenang dan
jangan takabur. Aku mulai mengingat jurus yang dulu diajarkan kakek saat musuh
menggunakan senjata.
Ssstttt!!
Tanpa menunggu komanda, Ramon
berlari ke arahku sambil menghunuskan pisaunya. Aku menghindar dengan gerakan
cepat dan berhasil menepis pisau yang hampir mengenai perutku. Lalu pertarungan
sengit pun tidak dapat dihindarkan. Preman kali ini memiliki kemampuan
bertarung yang cukup seimbang denganku. Kalau begini, aku bisa kehabisan tenaga.
Tiba-tiba, tanpa kami berdua sadari. Seorang pemuda berlari cepat dari arah
belakang dan memukul bagian kepala Ramon dengan siku tangannya. Aku hanya
terbengong dan melihat Ramon ambruk sambil meringis kesakitan.
“Mbak, ayo kita bergegas pergi dari
sini. Sebelum Ramon memanggil teman-temannya,” kata pemuda itu sambil menarik
tanganku.
“A-pa? Tunggu dulu, aku belum
selesai mengalahkannya.”
Tanpa sempat melanjutkan
perkataanku, dia terus saja menarik. Untungnya, aku berhasil menyelamatkan
dompetku yang tergeletak begitu saja dekat dengan tong sampah. Tak lama
kemudian, sampailah aku disebuah rumah yang ramai dengan anak-anak jalanan.
Mereka tengah asyik bernyayi dan bercanda ria.
“Mbak, untuk sementara tinggal di
sini dulu soalnya sudah larut malam. Oh ya, perkenalkan nama aku Rendra dan
maaf sebelumnya aku sudah menyeret-nyeret Mbak sampai ke sini soalnya
preman-preman itu sangat berbahaya.”
“Hmm.. tidak apa-apa. Oh ya, namaku Luci
dan sebenarnya tempat apa ini?”
“Rumah singgah anak jalanan. Mari
aku tunjukkan kamar Mbak, kebetulan ada satu ranjang yang masih kosong.”
“Baiklah.”
“Ngomong-ngomong… Mbak tinggal di
mana dan pekerjaannya apa?”
“Panggil Luci saja biar lebih akrab.
Aku tinggal di daerah dekat sini dan soal pekerjaan aku belum mendapatkan yang
pas. Bisa dibilang aku seorang backpacker
semacam pengembara.”
“Wah keren, boleh aku meminta
bantuan Lu-ci untuk mengajar anak-anak jalanan di sini?”
“Tentu saja. Aku sangat senang
dengan anak-anak.”
Aku mulai membuka sebuah pintu dan
alangkah terkejutnya diriku karena ruangan ini berisi banyak ranjang susun.
Kulihat anak-anak jalanan yang tengah tertidur pulas. Wajah mereka tampak
tenang dan damai seakan tidak ada masalah yang membebaninya. Lalu, aku pun
menemukan sebuah ranjang dan mulai merebahkan diri untuk menyambut mentari yang
bersinar esok hari.
***
Saat
terlelap menuju dunia mimpi. Aku merasakan tubuhku beberapa kali diguncangkan.
Aku paksakan membuka kedua mata ini.
“Kak, ayo kita sholat shubuh,” kata
seorang gadis kecil.
“Hoaaam.. sholat? Ya.. ya.. dimana
toiletnya?”
“Ikuti aku Kak.”
Sambil mengumpulkan kesadaran, aku
mengikuti gadis kecil itu dan tentunya dengan beberapa anak lain yang tertawa
kecil melihat tingkahku yang konyol. Maklum, aku selalu bangun kesiangan dan
tidak ada seorang pun yang memarahiku apalagi mengajak sholat. Di ruangan kecil
ini, aku, Rendra dan beberapa anak jalanan menghadap pada-Nya. Dadaku terasa
sesak dan panas bila mengingat Allah swt. Aku terkenang akan dosa-dosa yang
menumpuk dan belum bisa menebusnya dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi
larangannya. Kini, aku merasa menemukan keluarga baru yang menerima aku apa
adanya.
Kemudian aku dan Rendra membagi
tugas mengajar anak jalanan. Dimulai dari pelajaran berhitung sampai menulis
huruf alphabet. Tidak seperti yang
kukira, mereka anak-anak cerdas dan penurut walaupun ada beberapa yang masih
bandel. Namun, itu tidak menyurutkan semangatku untuk terus mengajar mereka.
Tidak terasa sudah dua bulan aku
tinggal di rumah singgah ini. Rasa persaudaran dan kekeluargaan semakin erat
terjalin. Aku juga sudah mulai terbuka kepada Rendra soal diriku yang kabur
dari rumah. Dia berjanji akan menyimpan rahasia ini. Preman-preman itu pun
sudah jarang menampakkan batang hidungnya karena aku telah berkerja sama dengan
pihak kepolisian yang kebetulan salah satu anggotanya adalah teman baikku
sewaktu kuliah. Mereka pun semakin giat belajar dan menunjukkan beberapa
prestasi yang membuatku bangga. Kini, sudah saatnya aku mengucapkan selamat
tinggal. Namun, itu tidak aku lakukan karena aku tidak tega melihat kesedihan
di mata mereka. Aku hanya menitipkan sebuah surat kepada Rendra untuk
dibacakakan kepada anak-anak jalanan itu sebagai kado perpisahan. Tidak lupa,
aku menyumbangkan beberapa buku bacaan dan memperbaharui fasilitas belajar agar
mereka tetap semangat menimba ilmu dunia maupun akhirat.
Malam semakin pekat dengan diterangi
seberkas sinar rembulan. Akhirnya, bis yang kutunggu datang. Saatnya, aku
mencari jejak petualangan baru.
**
THE END **
Tidak ada komentar:
Posting Komentar