PERJALANAN SEORANG
PENULIS
BY : ZEFITA
Hidup
ini berisi kisah suka dan duka
Hidup akan terasa indah
Jikalau kita telah merasakan
keduanya
Hidup adalah perjuangan
Memaknai arti hidup
yang sebenarnya
Memetik setiap hikmah
yang tersembunyi
“Tok...tok...tok...
“(terdengar suara pintu diketuk)
“Happy
buka pintunya!!, sampai kapan mau mengeram di dalam kamar?”
“Iya
Ma sebentar lagi, tanggung nih”
“Sudah
berapa telur yang dihasilkan, ayo cepat buka pintunya nanti makan malamnya
habis sama adik-adikmu lho!”
“Iyaaaaaaaa”
Di
meja makan aku telah mengambil posisi nyaman. Tiba-tiba suara gaduh mulai
terdengar, awalnya bersuara kecil namun semakin lama didiamkan semakin besar. Yap
saudara-saudara tidak lain dan tidak bukan adalah ulah dari dua monster kecil
yang bertampang polos dan tidak berdosa. Siapa lagi kalau bukan dua adik
kembarku yang bernama Idris dan Nazuha. Walaupun masih duduk di Sekolah Dasar
tetapi kelakuan dan kekuatannya seperti orang dewasa. Seperti manjat pohon
sampai akarnya eh maksudnya sampai puncaknya, mengangkat meja yang lumayan
berat (aslinya berdua), menyetir kebo yang lagi nongkrong di sawah soalnya
rumah kami berdekatan dengan sawah alhasil setiap sore dua adik kembarku selalu
bermain di sana dan mengumpulkan beberapa temannya dan membentuk komunitas.
Komunitas binatang namanya (he he).
“Oh
ya, Happy sudah melamar kemana saja?”, sapa Papa
“(menghela
napas), Papa mengingatkanku kepada sesuatu yang kubenci”
“Boro-boro
pergi ngelamar kerja. Kerjaannya cuma menulis di laptop yang masih nge-redit,”sapa
mamaku
“Mama,
ini kan salah satu usaha juga siapa tau ada penerbit yang mau menerbitkan
cerpen dan novel Happy”
“Maaf
ya sebelumnya Happy, papa tidak bisa membiayaimu sampai kuliah. Seandainya gaji
papa naik”
“Santai
aja Pa, Happy ngerti dan akan berusaha buat nyari kerja (mungkin)”
“Berjuang
ya kak,”kata adik kembarku
“Oke
manis”
Makan
malam pun terasa indah ditemani oleh mereka. Walaupun ada amanah yang belum
bisa kuwujudkan. Malam ini aku harus mulai merencanakan masa depan. Yap saatnya
cari lowongan diinternet dan koran. Beberapa saat kemudian Happy tertidur pulas
dengan ditemani laptopnya.
“Ma
aku pergi dulu”
“Mau
kemana?”
“Biasa
cari kerja”
“Heem..heem,
moga sukses ya Hap”
“Amiiiin”
Di
bulan februari yang cerah hari ini, Happy mulai menata masa depannya menuju
kehidupan yang lebih baik salah satunya dengan mencari pekerjaan. Namun dari
satu perusahaan ke perusahaan lain Happy memperoleh jawaban yang sama “Tidak
Ada Lowongan”.
“Haaah
capeeek deh, kenapa sih pada nolak. Sebeeeel, aku pergi makan aja”
Happy
pun berjalan menyusuri pinggiran kota dan mencari rumah makan untuk melepas
lelah. Ia pun berhenti di salah satu rumah makan sederhana yang terletak di
sudut kota. Ia pun melangkahkan kaki masuk dan mulai melihat daftar menu.
“Mbak
aku pesan nasi goreng ama air jeruk dingin”
“Oke”
Sejenak
pandangan mereka bertemu.
“Happy!!!”
“Emang
aku kenal sama mbak?”
(mencubit
pipiku dengan gemas)
“Aduh
sakit Vi”
“Nah
itu lho kenal”
“Iya
non, sejak kapan lho kerja di sini?”
“Sejak
kita lulus SMA, habis nyari kerja susah. Terus lho darimana dan bawa map begitu
banyak?”
“Oh
ini (sambil menunjuk map), biasa ngelamar kerja tapi belum dapat ni. Oh ya lho
nggak dimarah sama Bos ngobrol sama aku?”
“Hmm,
tenang aja Bos aku baik. Oh ya aku bisa nyariin kerja di rumah makan ini, mau
nggak?”
“Hmm,
gimana ya ntar aku pikir-pikir dulu”
“Ok
deh fren, aku tunggu jawabannya besok. Nomormu nggak ganti kan?”
“Nggak
tetap yang dulu”
Setelah
itu mereka berdua larut dalam perbincangan yang penuh canda dan tawa.
Sekali-kali Happy melihat Vivie melayani para pelanggannya dengan bahagia dan
sebuah senyum ramah juga tidak rasa malu sedikit pun diwajahnya walaupun dia
hanya seorang pelayan rumah makan. Happy pun beranjak dari kursinya dan pamit
dengan Vivie untuk pulang kembali ke rumahnya.
“Assalammualaikum,”sapaku
“Waalaikum
salam, gimana Hap sudah diterima kerja?”
“Mama
ini baru aja Happy ngelamar masak langsung diterima, masih nunggu
panggilan,”jawabku
“Oh
gitu, nanti gaji pertama bagi ke mama ya” (he..he..)
“Mana
Idris dan Nazuha Ma?”
“Oh
itu lagi nonton TV”
Langsung
tanpa basi-basi aku mencomot es krim yang lagi dimakan mereka berdua.
“Kak
Happppppyyyy” (serempak mereka berdua teriak)
“Sssttt,
Kakak Cuma nyicip sedikit aja”
“Tapi
kenapa harus punya kami berdua kan bisa milih salah satu,”bantah Nazuha
“Biar
adil,”jawabku (he..he.. sambil senyum licik)
Aku
pun pergi ke kamar dan menyalakan laptop melanjutkan beberapa novel yang
tertunda. Setelah aku cek email belum ada penerbit yang merespon naskahku. Aku
mengambil hp dan mencoba untuk menghubungi Vivie. Aku berpikir daripada luntang
lanting mencari pekerjaan yang belum jelas lebih baik aku menerima tawaran Vi.
“Ma,
aku pergi dulu. Assalammualaikum”
“Mau
kemana pagi-pagi begini?”
“Hmm,
ngecek lamaran kerja bu. Mungkin agak sore Happy pulang”
“Oh,
hati-hati. Naik angkot lagi?”
“Ya
iyalah Ma, masak naik pesawat. Kalau naik ojek agak mahal. Ya udah Happy
berangkat”
Di
rumah makan, Vivie menyambut Happy dengan senyum ramah dan langsung mengajaknya
ke sebuah ruangan tempat bosnya sedang bersantai. Dan Happy sempat kaget karena
bosnya adalah seorang cewek bukan maksudnya jilbaber (jilbab besar). Vivie pun
memperkenalkan bosnya yang bernama ibu Aminah. Ibu Aminah ini adalah seorang
yang pekerja keras, dia tinggal mati oleh suaminya dalam sebuah kecelakaan.
Memang musibah tidak pernah memandang kepada siapa dan kapan terjadinya. Namun
dari guratan wajahnya ia tetap tabah dalam menjalani kehidupannya bersama anak
semata wayangnya bernama Amelia yang dari foto yang aku lihat sebaya dengan dua
adik kembarku. Selanjutnya beliau menjelaskan detail pekerjaan yang harus aku
kerjakan dan ternyata jam buka rumah makannya dimulai dari jam 08.00-18.00. Beliau
sendiri yang memasak makanannya sedangkan Aku dan Vivie bertugas menyajikannya.
Benar-benar ibu perkasa, beliau berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya
tanpa mengaharap belas kasihan dari keluarganya ataupun orang lain.
“Hap,
anterin meja no.5”
“Oke”
Beginilah
rutinitasku setiap hari menjadi pelayan rumah makan. Tetapi saat ditanya oleh
mamaku, aku menjawab sudah diterima kerja dan tidak menyebutkan bekerja di
rumah makan. Pasti mama melarangku, biasa rata-rata orangtua ingin melihat
anaknya memperoleh pekerjaan yang layak masak lulusan SMK jurusan akuntansi
kerjanya di rumah makan. Namun bagiku perkerjaan ini sangat mulia, nyaman,
halal dan tidak unsur negatif di dalamnya apalagi rumah makan ini yang mengelola
adalah seorang muslimah. Tidak jarang sesekali bu Aminah mengajakku ikut kajian
di dekat rumahnya, namun aku agak sedikit malas.
Beberapa
hari kerja rasanya aku sudah mulai beradaptasi. Tipe-tipe pelanggan pun sudah
aku hapal dan tak jarang ada saja yang kegenitan. Namun aku berusaha sabar dan
menasehatinya secara halus. Hingga hari itu tiba, hari yang melelahkan.
“Vi
kok tumben aku lihat orang itu?”
“Orang
yang mana Hap?”
“Itu
sekelompok orang yang memakai baju urak-urakan, aku baru melihatnya makan di
sini”
“Jangan-jangan
mereka preman?”
“Hmm,
iya mungkin aduh gimana ini kalau sampai terjadi sesuatu”
“Heem..heem
ada apa kalian berbisik-bisik?”
“Eh
bu Aminah. Itu lho bu sekelompok orang yang di meja no 1 kelihatannya bukan
orang baik-baik,”kata Happy
“Sstt
jangan suuzon gitu, layanin aja semampu kita nanti kalau mereka berbuat
macam-macam kita tinggal panggil orang di luar. Kebetulan ada pangkalan ojek
jadi kita bisa minta bantuan”
“Ya
bu,”jawab kami serempak
Tibalah
saatnya untuk menagih bayarannya. Namun tiba-tiba mereka tidak menuju ke tempat
kasir dan langsung beranjak keluar. Sambil berlari kecil aku mengejarnya.
“Mas
tunggu!!!”
“Ada
apa!!, mau cari gara-gara sama kita,”jawabnya
“Ini
tagihannya belum dibayar,”jawabku
“Kau
tidak tahu siapa kami?” (dengan wajah sangar)
“Aku
tidak tau tetapi yang jelas Mas harus membayar dulu sebelum meninggalkan rumah
makan kami”
“Sialan
nih bocah, apa kita kasik pelajaran aja biar dia kapok?” (sambil memandang
temannya yang lain)
“Nggak
usah bos kasian dia cewek,”jawab temannya yang lain
“Gini
bocah, kami ini preman yang menguasai daerah ini. Jadi kami berhak tidak
membayar makan di warungmu. Untung saja kami tidak menarik setoran dan
mengobrak-abrik tempat kalian”
Dalam
hati nyali aku sempat ciut juga. Tetapi berbekal keberanian dan ilmu pencak
silat semasa sekolah akhirnya aku beranikan diri untuk maju dan bertanya
kembali.
“Gini
aja Mas, mau bayar apa nggak?. Kalau tidak mau terpaksa aku akan menggunakan
cara kekerasan,”jawabku menantang
Tanpa
basi-basi dua orang mulai maju dan mengambil kuda-kuda dan langsung mengepalkan
tangannya ke arah wajahku. Dengan sigap aku mundur sedikit dan menepis
tangannya. Perkelahian pun tak dapat dielakkan. Masing-masing dari preman itu
telah mengambil posisi mengepungku. Beberapa orang yang lewat di sekitar
perkelahian hanya menonton dan tidak ada yang berani menolong. Apa mungkin
mereka kelompok preman yang sangat ditakuti bahkan dari kejauhan beberapa
tukang ojek yang semula hendak menolong tiba-tiba mengurungkan niatnya setelah
melihat wajah beberapa preman itu. Alhasil dari kejauhan tampak bu Aminah dan
Vivie berteriak histeris. Suasana pun didukung dengan awan mendung yang
sebentar lagi akan menumpahkan airnya.
“Sialan
bos, cewek ini kuat sekali,”jawab salah satu preman
“Hey
kalau mau serius, buka jilbabmu!!! (ha..ha... diiringi tawa yang licik dari
mereka)
Aku
pun hanya tersenyum tipis melihat kelakuan mereka. Dan napasku mulai
ngos-ngosan. Sebelumnya aku belum pernah menghadapi situasi seperti ini paling
hanya latihan berhadap-hadapan sewaktu masih belajar pencak silat. Tetapi aku
harus memusatkan perhatian dan memulihkan kekuatanku sementara mereka bicara
juga mencari titik kelamahan musuhku. Dua orang telah kulumpukan berarti sisa
tiga orang lagi. Baiklah, “Bismillah”. Aku mohon perlindunganmu ya Alloh.
“Ayo
maju kalian!,”tantangku
Tampak
mereka berdua mengambil langkah yang panjang ke arahku. Dan aku terkunci yang
satu memelukku dari belakang dan mengunci tanganku hingga tidak bisa berkutik
sedangkan yang satunya sudah berada di depanku dengan sebuah benda tajam di
tangannaya. Sebuah pisau belati. Dalam hati aku berdoa dan mengingat beberapa
jurus yang telah diajarkan pelatihku. Akhirnya dengan kedua kaki yang masih
bisa melakukan gerakan. Aku menendang ke belakang tepat dibagian vitalnya dan
pelukannya pun terlepas. Namun tidak sampai di situ, temannya yang memegang
pisau maju kearahku dan hendak menusukkan pisau secara membabi buta. Dengan
sigap aku refleks menangkisnya menggunakan salah satu tanganku dan berhasil
pisaunya jatuh ke tanah tetapi sebagai gantinya aku mendapatkan goresan sekitar
10cm dan darah pun keluar dengan derasnya, sederas hujan yang turun. Rasanya
tubuhku mulai lemas dan tidak sanggup lagi untuk bertarung.
Dari
balik hujan yang deras sayup-sayup aku dengar sebuah mobil kijang berhenti
tepat di pinggir trotoar dekat pertarungan yang sedang berlangsung. Perlahan
keluar sesosok pria dengan jaket tebal dan berkacamata
putih yang menghias wajahnya. Pria itu mendekat ke arah pertarungan yang
berlangsung tanpa memperdulikan bajunya yang mulai basah.
“Mundur!!!”
Hanya
satu kata yang diucapkan tanpa melihat ke arah wajahku.
“I-ya,”jawabku
Dengan
sigap dia mulai mengambil kuda-kuda. Dari gerakannya aku tahu bahwa dia
melakukan gerakan
taekwondo. Sepetinya dia sudah mencapai sabuk hitam, ini kelihatan dari
gerakannya yang keras dan tegas serta fokus pada satu arah.
“Hoy,
rekam aku pake handy cam ini,”jawabnya dengan acuh
“A-apa?”
Tanpa
sempat aku bertanya lebih lanjut dia sudah melakukan aksinya. Dengan gerakan super cepat
dua orang yang bertarung denganku sebelumnya telah dikalahkan dengan sukses.
Sementara bosnya mulai mengambil pisau dari balik sakunya. Pria misterius itu
kembali dengan posisi kudanya dan berkonsetrasi penuh menganalisis kekuatan
musuhnya. Si Bos menyerang dengan gerakan teratur menyerang perut si pria
misterius. Namun dengan gerakan yang tangkas si pria misterius menggenggam
pangkal dan memelitir tangan si Bos dan mengambil alih pisaunya. Kemudian
menghajar ulu hati si Bos dan merobohkannya dengan satu pukulan. Aku dari
kejauhan hanya bengong sambil merekam adegan seperti yang diperintahkan oleh si
pria misterius. Dari kejauhan beberapa motor polisi mulai mendatangi kami,
sepertinya sudah ditelepon sama pria misterius itu.
“Sini
handy cam aku,”jawabnya
“Ini,”jawabku
“Yah
lho kok nggak stop sih, wah habis deh memorinya ni”
“Maaf,
aku nggak tau caranya stopinnya”
“Astaga
lho ini lahir dari zaman apa sih?”
“Apa
lho bilang!!”
“Ya
sudah, syukron” (sambil berlalu meninggalkanku)
“Hey!!!tunggu”
Setelah
itu bu Aminah dan Vivie memapahku ke dalam dan mulai mengobati luka-lukaku. Mereka
sempat bertanya macam-macam namun aku tidak bisa menjawabnya. Badanku terasa
letih dan aku pun tertidur. Beberapa saat kemudian aku membuka mata dan ruangan
ini sepertinya aku kenal. Ya ini kan kamarku tetapi siapa yang membawaku sampai
ke sini.
“Hap,
ini makan dulu buburnya” (sambil menyodorkannya)
“Ma,
siapa yang membawaku ke sini?”
“Makan
dulu buburnya biar ada tenaga”
“Hmm”
“Tadi
Vivie menelpon ke rumah katanya kamu mendapatkan musibah dan dia sudah cerita
semuanya”
“Mama
nggak marah?”
“Awalnya
marah tapi setelah dijelaskan oleh bu Aminah emosi mama agak menurun”
“Maaf
ya Ma”
“Harusnya
Happy cerita dari awal kalau kerja dirumah makan bu Aminah walaupun mama pengen
Happy kerja kantoran”
“Iya
Ma”
Beberapa
hari kemudian setelah kondisiku cukup pulih untuk kembali bekerja. Hp ku pun
berbunyi dan saat aku melihat no yang menelponku. No baru yang tidak ada pada daftar
kontak. Siapa tahu penting batinku.
“Halo”
“Assalammualaikum”
“Oh,
waalaikum salam”
“Apa
benar ini saudari Happy dengan novel Kisah
di Balik Hujan?”
“Iya
benar”
“Oke,
kami tertarik untuk membukukan novel Anda”
“Benarkah?”
“Iya”
Sesaat
kemudian Happy loncat-loncat kegirangan dengan goyangan badan yang jelas
ritmenya. Dua adik kembarannya yang hendak pergi ke sekolah mendadak menjadi
patung saat melihat tingkah laku kakaknya yang aneh.
“Halo...halo...
saudari Happy, Anda masih di sana?”
“Iya..Mas”
“Begini
pagi ini bisa datang ke kantor kami di Jln.Sakura No.4 daerah Flamboyan”
“Ok
aku segera meluncur ke sana”
Tibalah
aku di sebuah gedung bercat biru. Lalu aku langsung menanyakan bagian
Penerbitan naskah pada bagian Resepsionis. Di beberapa ruangan banyak sekali
orang yang berkutat dengan beberapa komputer dan laptop. Sampailah aku disebuah
pintu bertuliskan bagian Penerbitan. Lalu aku pun membuka pintu dan
dipersilahkan masuk. Di dalam tampak seorang pria separuh baya membaca naskahku
dengan teliti. Sesekali dia berbicara padaku dan memberikan bimbingan menjadi
penulis yang hebat. Sepertinya orang ini tidak hanya menilai isi nashah tetapi
pesan yang terkandung di dalamnya. Aku jadi ingat di sekitarku banyak
orang-orang yang hebat. Ada bu Aminah dan Vivie juga pria misterius. Sebelum
aku ke sini, aku sempatkan mampir ke warung mereka untuk melepas kangen juga
menceritakan bahwa novelku akan dibukukan. Mereka pun memberi semangat untuk
terus menulis. Dari merekalah aku mengetahui kerasnya hidup dan kesabaran yang
tidak ternilai harganya dalam menjalani kehidupan namun mereka tetap tersenyum
menjalaninya karena ada keluarga yang membutuhkannya.
“Saudari
Haapy, bagaimana tertarik dengan penawarannya?”
“Penawaran
apa?”. Maaf aku tidak mendengarkannya”
“Menjadi
penulis tetap pada redaksi kami”
“Haah,
benarkah?”(lebay.com Happy muncul)
“Aku
terima Mas. Oya sebelum menerbitkan novelku bisa Anda tambahkan kata-kata ini
di bagian akhir novelku” (sambil menyodorkan kertas).
Dia
pun membuka kertas itu dan mulai melihat isinya yang bertuliskan :
AKU INGIN MENULIS
UNTUK BERBAGI KISAH
DENGANMU KAWAN
SAAT AKU SUDAH TIDAK
ADA DI DUNIA INI
AKU BERHARAP
ENGKAU AKAN TETAP
MENGINGATKU
MELALUI TULISAN INI
Note: Terima kasih
kepada bu Aminah dan Vivie yang telah mewarnai kehidupanku
“Baiklah
aku terima dan mulai besok Anda bisa bekerja,”jawabnya
“Iya
Mas”
Keesokan
harinya mulailah lembaran kehidupan baru bagi Happy. Cewek tomboy yang cuek
namun mulai alim setelah mengikuti kajian islami yang diajak oleh bu Aminah. Happy
pun mulai mengerti makna kehidupan, ada yang manis dan pahit dan dia pun mulai
paham dengar ajaran islam yang sesungguhnya. Bahwa walaupun dari cara
berpakaian tidak menjamin seseorang itu baik namun dilihat dari hati dan
perilakunya. Tidak hanya itu dalam kajian Happy mengetahui bahwa ada beberapa
organisasi Islam yang berbahaya. Memang mereka berkedok Islam namun pedomannya
tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis yang valid.
Yap
hari ini bulan Februari akan segera berakhir namun tidak menghapuskan beberapa
kenangan yang telah terjadi. Di ruang kerja yang beraroma lemon, Happy melihat
beberapa skedul yang telah menantinya. Ada beberapa target novel baru yang akan
diselesaikan. Hidupnya mulai ceria dan penuh warna bersama naskah yang menumpuk
dan teman-teman barunya.
“Hey
ini ada beberapa file yang mesti kamu lihat untuk cover novel terbarumu, ntar
kalo lho udah cocok tinggal kasik tau aku. Biar langsung aku edit”
Suara
ini sepertinya aku kenal, hening beberapa sesaat. Aku pun menolehkan wajahku
kepada sumber suara. Dan dia ternyata lelaki hujan yang nyebelin itu.
“Ka-ka-kamu?”
“Oh
lho yang aku tolong dulu, ternyata lho kerja di sini. Hmm dunia ini begitu
sempit sampai aku harus ketemu orang yang sama”
Begitulah
hari-hari Happy diwarnai dengan kekesalan oleh si lelaki hujan yang baru-baru
ini diketahui namanya Azam. Mereka kini bagaikan Tom dan Jerry versi baru.
@THE
END@
Tidak ada komentar:
Posting Komentar