Kamis, 13 Maret 2014

PANGGIL AKU, BACKPACKER!

PANGGIL AKU, BACKPACKER!

            Menatap langit yang biru dari balik jendela membuatku tersadar akan satu hal. Kehidupanku terasa hampa dan monoton. Aku menginginkan sebuah petualangan hebat bersama seorang atau beberapa teman. Namun, kenyataan yang kuhadapi justru aku terbelenggu di dalam sebuah rumah yang besar tanpa penghuni. Sudah tiga bulan ini, mereka meninggalkanku tanpa pernah menanyakan kabar. Mereka selalu dan selalu pergi keluar negeri untuk menjalankan bisnisnya tanpa memperdulikan aku sebagai anaknya yang selalu menunggu mereka di rumah ini. Satu hal yang masih membuat mereka memperdulikanku yaitu mentransfer sejumlah uang ke rekening.  
            Kumantapkan langkah kaki ini menuju sebuah tempat di luar sana. Setelah mengemasi beberapa barang dan baju, aku bergegas menyelinap ke pintu belakang tanpa diketahui oleh beberapa satpam dan pelayan rumah.
            “Baiklah Luci, saatnya berpetualang ke negeri antah berantah,” gumamku.
            Akhirnya, aku berhasil menyelinap dan untungnya satpam yang menjaga pintu belakang tengah pergi ke toilet. Udara malam terasa menusuk tulangku, perlahan aku merapatkan jaket dan berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dengan kerlap kerlip lampu jalanan. Tak terasa, aku telah berjalan selama 30 menit dan menemukan sebuah tempat yang ramai.
            “Wah!! Ada pasar malam.”
            Aku berjalan menyusuri beberapa lapak makanan dan membeli aneka gorengan. Tiba-tiba, aku menabrak seorang anak kecil yang berlari dari arah berlawanan denganku. Aku meraba isi tas ranselku dan aku tersadar ada yang hilang.
            “Hey bocah!!! Tunggu,” teriakku.
            Aku berlari sekencang-kencangnya melewati beberapa kerumunan orang. Tak peduli orang-orang berteriak kepadaku karena tertabrak. Bagiku dompet itu adalah hidupku.
            Aku mulai mengatur napas dan mencoba mencari sosok si bocah. Aku mengedarkan pandangan sambil mengatur napas dan yang terlihat di sekelilingku hanya beberapa rumah kumuh dan bau sampah yang menyengat. Samar-samar, aku mendengar ada beberapa suara orang yang tengah melakukan sebuah transaksi. Aku berjalan perlahan dan mendekati asal suara. Tak kusangka yang aku lihat si bocah dan beberapa preman sedang membagikan uang dari dompetku.
            “Hey kalian!! Kembalikan uangku!”
            “Ck, kupikir siapa yang datang. Ternyata seorang cewek,” kata preman brewokan sambil membereskan uang yang tercecer.
            “Gimana Bos? Apa kita hajar terus kita jual ke luar negeri?” kata preman bertato.
            “Jangan kasar begitu kalian, tangkap secara lembut saja. Dia tidak akan kabur,” kata Bos preman.
            Mereka pikir aku cewek lemah. Salah.. mereka salah besar, sejak kecil aku sudah dilatih ilmu bela diri yaitu silat. Aku berusaha bersikap tenang dan mulai memasang kuda-kuda serta memperkuat pertahanan tubuh.
            “Maju kalian!!”
            “Ck.. ck.. biar aku saja yang menghadapinya Bos besar. Udin bantu aku!”
            “Beres Jo, eh maksudnya bos Bejo.”
            Mereka mengepungku dari arah depan dan belakang. Rupanya mereka memiliki starategi khusus dalam menyerangku secara bersamaan, namun aku memasang mata dan meneliti setiap pergerakan mereka.
“Hiaaaaaaaaaaaaaaat!!!”
Aku menggunakan jurus perpaduan tendangan kearah belakang yang bertumpu pada tumit dan pukulan pendeta dari arah depan dengan gerakan yang cepat dan tepat sasaran.
Bruuuk!!!
“Aaakkkhhh!!!”
Akhirnya, seranganku berhasil mengenai titik kelemahan mereka namun aku harus waspada terhadap Bos besar yang mulai memasang wajah garang.
“Cuma segitu kemampuanmu? Kau tau siapa aku! Aku Ramon, kepala preman di wilayah ini dan maaf saja jika wajahmu akan tergores oleh pisauku.”
            Sesaat, aku mulai merinding ketakutan melihat pisau yang dipegangnya. Namun, aku harus tetap tenang dan jangan takabur. Aku mulai mengingat jurus yang dulu diajarkan kakek saat musuh menggunakan senjata.
            Ssstttt!!
            Tanpa menunggu komanda, Ramon berlari ke arahku sambil menghunuskan pisaunya. Aku menghindar dengan gerakan cepat dan berhasil menepis pisau yang hampir mengenai perutku. Lalu pertarungan sengit pun tidak dapat dihindarkan. Preman kali ini memiliki kemampuan bertarung yang cukup seimbang denganku. Kalau begini, aku bisa kehabisan tenaga. Tiba-tiba, tanpa kami berdua sadari. Seorang pemuda berlari cepat dari arah belakang dan memukul bagian kepala Ramon dengan siku tangannya. Aku hanya terbengong dan melihat Ramon ambruk sambil meringis kesakitan.
            “Mbak, ayo kita bergegas pergi dari sini. Sebelum Ramon memanggil teman-temannya,” kata pemuda itu sambil menarik tanganku.
            “A-pa? Tunggu dulu, aku belum selesai mengalahkannya.”
            Tanpa sempat melanjutkan perkataanku, dia terus saja menarik. Untungnya, aku berhasil menyelamatkan dompetku yang tergeletak begitu saja dekat dengan tong sampah. Tak lama kemudian, sampailah aku disebuah rumah yang ramai dengan anak-anak jalanan. Mereka tengah asyik bernyayi dan bercanda ria.
            “Mbak, untuk sementara tinggal di sini dulu soalnya sudah larut malam. Oh ya, perkenalkan nama aku Rendra dan maaf sebelumnya aku sudah menyeret-nyeret Mbak sampai ke sini soalnya preman-preman itu sangat berbahaya.”
            “Hmm.. tidak apa-apa. Oh ya, namaku Luci dan sebenarnya tempat apa ini?”
            “Rumah singgah anak jalanan. Mari aku tunjukkan kamar Mbak, kebetulan ada satu ranjang yang masih kosong.”
            “Baiklah.”
            “Ngomong-ngomong… Mbak tinggal di mana dan pekerjaannya apa?”
            “Panggil Luci saja biar lebih akrab. Aku tinggal di daerah dekat sini dan soal pekerjaan aku belum mendapatkan yang pas. Bisa dibilang aku seorang backpacker semacam pengembara.”
            “Wah keren, boleh aku meminta bantuan Lu-ci untuk mengajar anak-anak jalanan di sini?”
            “Tentu saja. Aku sangat senang dengan anak-anak.”
            Aku mulai membuka sebuah pintu dan alangkah terkejutnya diriku karena ruangan ini berisi banyak ranjang susun. Kulihat anak-anak jalanan yang tengah tertidur pulas. Wajah mereka tampak tenang dan damai seakan tidak ada masalah yang membebaninya. Lalu, aku pun menemukan sebuah ranjang dan mulai merebahkan diri untuk menyambut mentari yang bersinar esok hari.
***
Saat terlelap menuju dunia mimpi. Aku merasakan tubuhku beberapa kali diguncangkan. Aku paksakan membuka kedua mata ini.
            “Kak, ayo kita sholat shubuh,” kata seorang gadis kecil.
            “Hoaaam.. sholat? Ya.. ya.. dimana toiletnya?”
            “Ikuti aku Kak.”
            Sambil mengumpulkan kesadaran, aku mengikuti gadis kecil itu dan tentunya dengan beberapa anak lain yang tertawa kecil melihat tingkahku yang konyol. Maklum, aku selalu bangun kesiangan dan tidak ada seorang pun yang memarahiku apalagi mengajak sholat. Di ruangan kecil ini, aku, Rendra dan beberapa anak jalanan menghadap pada-Nya. Dadaku terasa sesak dan panas bila mengingat Allah swt. Aku terkenang akan dosa-dosa yang menumpuk dan belum bisa menebusnya dengan menjalankan perintahnya dan menjauhi larangannya. Kini, aku merasa menemukan keluarga baru yang menerima aku apa adanya.
            Kemudian aku dan Rendra membagi tugas mengajar anak jalanan. Dimulai dari pelajaran berhitung sampai menulis huruf alphabet. Tidak seperti yang kukira, mereka anak-anak cerdas dan penurut walaupun ada beberapa yang masih bandel. Namun, itu tidak menyurutkan semangatku untuk terus mengajar mereka.
            Tidak terasa sudah dua bulan aku tinggal di rumah singgah ini. Rasa persaudaran dan kekeluargaan semakin erat terjalin. Aku juga sudah mulai terbuka kepada Rendra soal diriku yang kabur dari rumah. Dia berjanji akan menyimpan rahasia ini. Preman-preman itu pun sudah jarang menampakkan batang hidungnya karena aku telah berkerja sama dengan pihak kepolisian yang kebetulan salah satu anggotanya adalah teman baikku sewaktu kuliah. Mereka pun semakin giat belajar dan menunjukkan beberapa prestasi yang membuatku bangga. Kini, sudah saatnya aku mengucapkan selamat tinggal. Namun, itu tidak aku lakukan karena aku tidak tega melihat kesedihan di mata mereka. Aku hanya menitipkan sebuah surat kepada Rendra untuk dibacakakan kepada anak-anak jalanan itu sebagai kado perpisahan. Tidak lupa, aku menyumbangkan beberapa buku bacaan dan memperbaharui fasilitas belajar agar mereka tetap semangat menimba ilmu dunia maupun akhirat.
            Malam semakin pekat dengan diterangi seberkas sinar rembulan. Akhirnya, bis yang kutunggu datang. Saatnya, aku mencari jejak petualangan baru.


** THE END **

Tidak ada komentar:

Posting Komentar