Kamis, 13 Maret 2014

PERJALANAN SEORANG PENULIS

PERJALANAN SEORANG PENULIS
BY : ZEFITA

            Hidup ini berisi kisah suka dan duka
            Hidup akan terasa indah
            Jikalau kita telah merasakan keduanya
Hidup adalah perjuangan
Memaknai arti hidup yang sebenarnya          
Memetik setiap hikmah yang tersembunyi

“Tok...tok...tok... “(terdengar suara pintu diketuk)
“Happy buka pintunya!!, sampai kapan mau mengeram di dalam kamar?”
“Iya Ma sebentar lagi, tanggung nih”
“Sudah berapa telur yang dihasilkan, ayo cepat buka pintunya nanti makan malamnya habis sama adik-adikmu lho!”
“Iyaaaaaaaa”
Di meja makan aku telah mengambil posisi nyaman. Tiba-tiba suara gaduh mulai terdengar, awalnya bersuara kecil namun semakin lama didiamkan semakin besar. Yap saudara-saudara tidak lain dan tidak bukan adalah ulah dari dua monster kecil yang bertampang polos dan tidak berdosa. Siapa lagi kalau bukan dua adik kembarku yang bernama Idris dan Nazuha. Walaupun masih duduk di Sekolah Dasar tetapi kelakuan dan kekuatannya seperti orang dewasa. Seperti manjat pohon sampai akarnya eh maksudnya sampai puncaknya, mengangkat meja yang lumayan berat (aslinya berdua), menyetir kebo yang lagi nongkrong di sawah soalnya rumah kami berdekatan dengan sawah alhasil setiap sore dua adik kembarku selalu bermain di sana dan mengumpulkan beberapa temannya dan membentuk komunitas. Komunitas binatang namanya (he he).
“Oh ya, Happy sudah melamar kemana saja?”, sapa Papa
“(menghela napas), Papa mengingatkanku kepada sesuatu yang kubenci”
“Boro-boro pergi ngelamar kerja. Kerjaannya cuma menulis di laptop yang masih nge-redit,”sapa mamaku
“Mama, ini kan salah satu usaha juga siapa tau ada penerbit yang mau menerbitkan cerpen dan novel Happy”
“Maaf ya sebelumnya Happy, papa tidak bisa membiayaimu sampai kuliah. Seandainya gaji papa naik”
“Santai aja Pa, Happy ngerti dan akan berusaha buat nyari kerja (mungkin)”
“Berjuang ya kak,”kata adik kembarku
“Oke manis”
Makan malam pun terasa indah ditemani oleh mereka. Walaupun ada amanah yang belum bisa kuwujudkan. Malam ini aku harus mulai merencanakan masa depan. Yap saatnya cari lowongan diinternet dan koran. Beberapa saat kemudian Happy tertidur pulas dengan ditemani laptopnya.
“Ma aku pergi dulu”
“Mau kemana?”
“Biasa cari kerja”
“Heem..heem, moga sukses ya Hap”
“Amiiiin”
Di bulan februari yang cerah hari ini, Happy mulai menata masa depannya menuju kehidupan yang lebih baik salah satunya dengan mencari pekerjaan. Namun dari satu perusahaan ke perusahaan lain Happy memperoleh jawaban yang sama “Tidak Ada Lowongan”.
“Haaah capeeek deh, kenapa sih pada nolak. Sebeeeel, aku pergi makan aja”
Happy pun berjalan menyusuri pinggiran kota dan mencari rumah makan untuk melepas lelah. Ia pun berhenti di salah satu rumah makan sederhana yang terletak di sudut kota. Ia pun melangkahkan kaki masuk dan mulai melihat daftar menu.
“Mbak aku pesan nasi goreng ama air jeruk dingin”
“Oke”
Sejenak pandangan mereka bertemu.
“Happy!!!”
“Emang aku kenal sama mbak?”
(mencubit pipiku dengan gemas)
“Aduh sakit Vi”
“Nah itu lho kenal”
“Iya non, sejak kapan lho kerja di sini?”
“Sejak kita lulus SMA, habis nyari kerja susah. Terus lho darimana dan bawa map begitu banyak?”
“Oh ini (sambil menunjuk map), biasa ngelamar kerja tapi belum dapat ni. Oh ya lho nggak dimarah sama Bos ngobrol sama aku?”
“Hmm, tenang aja Bos aku baik. Oh ya aku bisa nyariin kerja di rumah makan ini, mau nggak?”
“Hmm, gimana ya ntar aku pikir-pikir dulu”
“Ok deh fren, aku tunggu jawabannya besok. Nomormu nggak ganti kan?”
“Nggak tetap yang dulu”
Setelah itu mereka berdua larut dalam perbincangan yang penuh canda dan tawa. Sekali-kali Happy melihat Vivie melayani para pelanggannya dengan bahagia dan sebuah senyum ramah juga tidak rasa malu sedikit pun diwajahnya walaupun dia hanya seorang pelayan rumah makan. Happy pun beranjak dari kursinya dan pamit dengan Vivie untuk pulang kembali ke rumahnya.
“Assalammualaikum,”sapaku
“Waalaikum salam, gimana Hap sudah diterima kerja?”
“Mama ini baru aja Happy ngelamar masak langsung diterima, masih nunggu panggilan,”jawabku
“Oh gitu, nanti gaji pertama bagi ke mama ya” (he..he..)
“Mana Idris dan Nazuha Ma?”
“Oh itu lagi nonton TV”
Langsung tanpa basi-basi aku mencomot es krim yang lagi dimakan mereka berdua.
“Kak Happppppyyyy” (serempak mereka berdua teriak)
“Sssttt, Kakak Cuma nyicip sedikit aja”
“Tapi kenapa harus punya kami berdua kan bisa milih salah satu,”bantah Nazuha
“Biar adil,”jawabku (he..he.. sambil senyum licik)
Aku pun pergi ke kamar dan menyalakan laptop melanjutkan beberapa novel yang tertunda. Setelah aku cek email belum ada penerbit yang merespon naskahku. Aku mengambil hp dan mencoba untuk menghubungi Vivie. Aku berpikir daripada luntang lanting mencari pekerjaan yang belum jelas lebih baik aku menerima tawaran Vi.
“Ma, aku pergi dulu. Assalammualaikum”
“Mau kemana pagi-pagi begini?”
“Hmm, ngecek lamaran kerja bu. Mungkin agak sore Happy pulang”
“Oh, hati-hati. Naik angkot lagi?”
“Ya iyalah Ma, masak naik pesawat. Kalau naik ojek agak mahal. Ya udah Happy berangkat”
Di rumah makan, Vivie menyambut Happy dengan senyum ramah dan langsung mengajaknya ke sebuah ruangan tempat bosnya sedang bersantai. Dan Happy sempat kaget karena bosnya adalah seorang cewek bukan maksudnya jilbaber (jilbab besar). Vivie pun memperkenalkan bosnya yang bernama ibu Aminah. Ibu Aminah ini adalah seorang yang pekerja keras, dia tinggal mati oleh suaminya dalam sebuah kecelakaan. Memang musibah tidak pernah memandang kepada siapa dan kapan terjadinya. Namun dari guratan wajahnya ia tetap tabah dalam menjalani kehidupannya bersama anak semata wayangnya bernama Amelia yang dari foto yang aku lihat sebaya dengan dua adik kembarku. Selanjutnya beliau menjelaskan detail pekerjaan yang harus aku kerjakan dan ternyata jam buka rumah makannya dimulai dari jam 08.00-18.00. Beliau sendiri yang memasak makanannya sedangkan Aku dan Vivie bertugas menyajikannya. Benar-benar ibu perkasa, beliau berjuang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya tanpa mengaharap belas kasihan dari keluarganya ataupun orang lain.
“Hap, anterin meja no.5”
“Oke”
Beginilah rutinitasku setiap hari menjadi pelayan rumah makan. Tetapi saat ditanya oleh mamaku, aku menjawab sudah diterima kerja dan tidak menyebutkan bekerja di rumah makan. Pasti mama melarangku, biasa rata-rata orangtua ingin melihat anaknya memperoleh pekerjaan yang layak masak lulusan SMK jurusan akuntansi kerjanya di rumah makan. Namun bagiku perkerjaan ini sangat mulia, nyaman, halal dan tidak unsur negatif di dalamnya apalagi rumah makan ini yang mengelola adalah seorang muslimah. Tidak jarang sesekali bu Aminah mengajakku ikut kajian di dekat rumahnya, namun aku agak sedikit malas.
Beberapa hari kerja rasanya aku sudah mulai beradaptasi. Tipe-tipe pelanggan pun sudah aku hapal dan tak jarang ada saja yang kegenitan. Namun aku berusaha sabar dan menasehatinya secara halus. Hingga hari itu tiba, hari yang melelahkan.
“Vi kok tumben aku lihat orang itu?”
“Orang yang mana Hap?”
“Itu sekelompok orang yang memakai baju urak-urakan, aku baru melihatnya makan di sini”
“Jangan-jangan mereka preman?”
“Hmm, iya mungkin aduh gimana ini kalau sampai terjadi sesuatu”
“Heem..heem ada apa kalian berbisik-bisik?”
“Eh bu Aminah. Itu lho bu sekelompok orang yang di meja no 1 kelihatannya bukan orang baik-baik,”kata Happy
“Sstt jangan suuzon gitu, layanin aja semampu kita nanti kalau mereka berbuat macam-macam kita tinggal panggil orang di luar. Kebetulan ada pangkalan ojek jadi kita bisa minta bantuan”
“Ya bu,”jawab kami serempak
Tibalah saatnya untuk menagih bayarannya. Namun tiba-tiba mereka tidak menuju ke tempat kasir dan langsung beranjak keluar. Sambil berlari kecil aku mengejarnya.
“Mas tunggu!!!”
“Ada apa!!, mau cari gara-gara sama kita,”jawabnya
“Ini tagihannya belum dibayar,”jawabku
“Kau tidak tahu siapa kami?” (dengan wajah sangar)
“Aku tidak tau tetapi yang jelas Mas harus membayar dulu sebelum meninggalkan rumah makan kami”
“Sialan nih bocah, apa kita kasik pelajaran aja biar dia kapok?” (sambil memandang temannya yang lain)
“Nggak usah bos kasian dia cewek,”jawab temannya yang lain
“Gini bocah, kami ini preman yang menguasai daerah ini. Jadi kami berhak tidak membayar makan di warungmu. Untung saja kami tidak menarik setoran dan mengobrak-abrik tempat kalian”
Dalam hati nyali aku sempat ciut juga. Tetapi berbekal keberanian dan ilmu pencak silat semasa sekolah akhirnya aku beranikan diri untuk maju dan bertanya kembali.
“Gini aja Mas, mau bayar apa nggak?. Kalau tidak mau terpaksa aku akan menggunakan cara kekerasan,”jawabku menantang
Tanpa basi-basi dua orang mulai maju dan mengambil kuda-kuda dan langsung mengepalkan tangannya ke arah wajahku. Dengan sigap aku mundur sedikit dan menepis tangannya. Perkelahian pun tak dapat dielakkan. Masing-masing dari preman itu telah mengambil posisi mengepungku. Beberapa orang yang lewat di sekitar perkelahian hanya menonton dan tidak ada yang berani menolong. Apa mungkin mereka kelompok preman yang sangat ditakuti bahkan dari kejauhan beberapa tukang ojek yang semula hendak menolong tiba-tiba mengurungkan niatnya setelah melihat wajah beberapa preman itu. Alhasil dari kejauhan tampak bu Aminah dan Vivie berteriak histeris. Suasana pun didukung dengan awan mendung yang sebentar lagi akan menumpahkan airnya.
“Sialan bos, cewek ini kuat sekali,”jawab salah satu preman
“Hey kalau mau serius, buka jilbabmu!!! (ha..ha... diiringi tawa yang licik dari mereka)
Aku pun hanya tersenyum tipis melihat kelakuan mereka. Dan napasku mulai ngos-ngosan. Sebelumnya aku belum pernah menghadapi situasi seperti ini paling hanya latihan berhadap-hadapan sewaktu masih belajar pencak silat. Tetapi aku harus memusatkan perhatian dan memulihkan kekuatanku sementara mereka bicara juga mencari titik kelamahan musuhku. Dua orang telah kulumpukan berarti sisa tiga orang lagi. Baiklah, “Bismillah”. Aku mohon perlindunganmu ya Alloh.
“Ayo maju kalian!,”tantangku
Tampak mereka berdua mengambil langkah yang panjang ke arahku. Dan aku terkunci yang satu memelukku dari belakang dan mengunci tanganku hingga tidak bisa berkutik sedangkan yang satunya sudah berada di depanku dengan sebuah benda tajam di tangannaya. Sebuah pisau belati. Dalam hati aku berdoa dan mengingat beberapa jurus yang telah diajarkan pelatihku. Akhirnya dengan kedua kaki yang masih bisa melakukan gerakan. Aku menendang ke belakang tepat dibagian vitalnya dan pelukannya pun terlepas. Namun tidak sampai di situ, temannya yang memegang pisau maju kearahku dan hendak menusukkan pisau secara membabi buta. Dengan sigap aku refleks menangkisnya menggunakan salah satu tanganku dan berhasil pisaunya jatuh ke tanah tetapi sebagai gantinya aku mendapatkan goresan sekitar 10cm dan darah pun keluar dengan derasnya, sederas hujan yang turun. Rasanya tubuhku mulai lemas dan tidak sanggup lagi untuk bertarung.
Dari balik hujan yang deras sayup-sayup aku dengar sebuah mobil kijang berhenti tepat di pinggir trotoar dekat pertarungan yang sedang berlangsung. Perlahan keluar sesosok pria dengan jaket tebal dan berkacamata putih yang menghias wajahnya. Pria itu mendekat ke arah pertarungan yang berlangsung tanpa memperdulikan bajunya yang mulai basah.
“Mundur!!!”
Hanya satu kata yang diucapkan tanpa melihat ke arah wajahku.
“I-ya,”jawabku
Dengan sigap dia mulai mengambil kuda-kuda. Dari gerakannya aku tahu bahwa dia melakukan gerakan taekwondo. Sepetinya dia sudah mencapai sabuk hitam, ini kelihatan dari gerakannya yang keras dan tegas serta fokus pada satu arah.
“Hoy, rekam aku pake handy cam ini,”jawabnya dengan acuh
“A-apa?”
Tanpa sempat aku bertanya lebih lanjut dia sudah melakukan aksinya. Dengan gerakan super cepat dua orang yang bertarung denganku sebelumnya telah dikalahkan dengan sukses. Sementara bosnya mulai mengambil pisau dari balik sakunya. Pria misterius itu kembali dengan posisi kudanya dan berkonsetrasi penuh menganalisis kekuatan musuhnya. Si Bos menyerang dengan gerakan teratur menyerang perut si pria misterius. Namun dengan gerakan yang tangkas si pria misterius menggenggam pangkal dan memelitir tangan si Bos dan mengambil alih pisaunya. Kemudian menghajar ulu hati si Bos dan merobohkannya dengan satu pukulan. Aku dari kejauhan hanya bengong sambil merekam adegan seperti yang diperintahkan oleh si pria misterius. Dari kejauhan beberapa motor polisi mulai mendatangi kami, sepertinya sudah ditelepon sama pria misterius itu.
“Sini handy cam aku,”jawabnya
“Ini,”jawabku
“Yah lho kok nggak stop sih, wah habis deh memorinya ni”
“Maaf, aku nggak tau caranya stopinnya”
“Astaga lho ini lahir dari zaman apa sih?”
“Apa lho bilang!!”
“Ya sudah, syukron” (sambil berlalu meninggalkanku)
“Hey!!!tunggu”
Setelah itu bu Aminah dan Vivie memapahku ke dalam dan mulai mengobati luka-lukaku. Mereka sempat bertanya macam-macam namun aku tidak bisa menjawabnya. Badanku terasa letih dan aku pun tertidur. Beberapa saat kemudian aku membuka mata dan ruangan ini sepertinya aku kenal. Ya ini kan kamarku tetapi siapa yang membawaku sampai ke sini.
“Hap, ini makan dulu buburnya” (sambil menyodorkannya)
“Ma, siapa yang membawaku ke sini?”
“Makan dulu buburnya biar ada tenaga”
“Hmm”
“Tadi Vivie menelpon ke rumah katanya kamu mendapatkan musibah dan dia sudah cerita semuanya”
“Mama nggak marah?”
“Awalnya marah tapi setelah dijelaskan oleh bu Aminah emosi mama agak menurun”
“Maaf ya Ma”
“Harusnya Happy cerita dari awal kalau kerja dirumah makan bu Aminah walaupun mama pengen Happy kerja kantoran”
“Iya Ma”
Beberapa hari kemudian setelah kondisiku cukup pulih untuk kembali bekerja. Hp ku pun berbunyi dan saat aku melihat no yang menelponku. No baru yang tidak ada pada daftar kontak. Siapa tahu penting batinku.
“Halo”
“Assalammualaikum”
“Oh, waalaikum salam”
“Apa benar ini saudari Happy dengan novel Kisah di Balik Hujan?”
“Iya benar”
“Oke, kami tertarik untuk membukukan novel Anda”
“Benarkah?”
“Iya”
Sesaat kemudian Happy loncat-loncat kegirangan dengan goyangan badan yang jelas ritmenya. Dua adik kembarannya yang hendak pergi ke sekolah mendadak menjadi patung saat melihat tingkah laku kakaknya yang aneh.
“Halo...halo... saudari Happy, Anda masih di sana?”
“Iya..Mas”
“Begini pagi ini bisa datang ke kantor kami di Jln.Sakura No.4 daerah Flamboyan”
“Ok aku segera meluncur ke sana”
Tibalah aku di sebuah gedung bercat biru. Lalu aku langsung menanyakan bagian Penerbitan naskah pada bagian Resepsionis. Di beberapa ruangan banyak sekali orang yang berkutat dengan beberapa komputer dan laptop. Sampailah aku disebuah pintu bertuliskan bagian Penerbitan. Lalu aku pun membuka pintu dan dipersilahkan masuk. Di dalam tampak seorang pria separuh baya membaca naskahku dengan teliti. Sesekali dia berbicara padaku dan memberikan bimbingan menjadi penulis yang hebat. Sepertinya orang ini tidak hanya menilai isi nashah tetapi pesan yang terkandung di dalamnya. Aku jadi ingat di sekitarku banyak orang-orang yang hebat. Ada bu Aminah dan Vivie juga pria misterius. Sebelum aku ke sini, aku sempatkan mampir ke warung mereka untuk melepas kangen juga menceritakan bahwa novelku akan dibukukan. Mereka pun memberi semangat untuk terus menulis. Dari merekalah aku mengetahui kerasnya hidup dan kesabaran yang tidak ternilai harganya dalam menjalani kehidupan namun mereka tetap tersenyum menjalaninya karena ada keluarga yang membutuhkannya.
“Saudari Haapy, bagaimana tertarik dengan penawarannya?”
“Penawaran apa?”. Maaf aku tidak mendengarkannya”
“Menjadi penulis tetap pada redaksi kami”
“Haah, benarkah?”(lebay.com Happy muncul)
“Aku terima Mas. Oya sebelum menerbitkan novelku bisa Anda tambahkan kata-kata ini di bagian akhir novelku” (sambil menyodorkan kertas).
Dia pun membuka kertas itu dan mulai melihat isinya yang bertuliskan :
AKU INGIN MENULIS
UNTUK BERBAGI KISAH DENGANMU KAWAN
SAAT AKU SUDAH TIDAK ADA DI DUNIA INI
AKU BERHARAP
ENGKAU AKAN TETAP MENGINGATKU
MELALUI TULISAN INI
Note: Terima kasih kepada bu Aminah dan Vivie yang telah mewarnai kehidupanku
“Baiklah aku terima dan mulai besok Anda bisa bekerja,”jawabnya
“Iya Mas”
Keesokan harinya mulailah lembaran kehidupan baru bagi Happy. Cewek tomboy yang cuek namun mulai alim setelah mengikuti kajian islami yang diajak oleh bu Aminah. Happy pun mulai mengerti makna kehidupan, ada yang manis dan pahit dan dia pun mulai paham dengar ajaran islam yang sesungguhnya. Bahwa walaupun dari cara berpakaian tidak menjamin seseorang itu baik namun dilihat dari hati dan perilakunya. Tidak hanya itu dalam kajian Happy mengetahui bahwa ada beberapa organisasi Islam yang berbahaya. Memang mereka berkedok Islam namun pedomannya tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadis yang valid.
Yap hari ini bulan Februari akan segera berakhir namun tidak menghapuskan beberapa kenangan yang telah terjadi. Di ruang kerja yang beraroma lemon, Happy melihat beberapa skedul yang telah menantinya. Ada beberapa target novel baru yang akan diselesaikan. Hidupnya mulai ceria dan penuh warna bersama naskah yang menumpuk dan teman-teman barunya.
“Hey ini ada beberapa file yang mesti kamu lihat untuk cover novel terbarumu, ntar kalo lho udah cocok tinggal kasik tau aku. Biar langsung aku edit”
Suara ini sepertinya aku kenal, hening beberapa sesaat. Aku pun menolehkan wajahku kepada sumber suara. Dan dia ternyata lelaki hujan yang nyebelin itu.
“Ka-ka-kamu?”
“Oh lho yang aku tolong dulu, ternyata lho kerja di sini. Hmm dunia ini begitu sempit sampai aku harus ketemu orang yang sama”
Begitulah hari-hari Happy diwarnai dengan kekesalan oleh si lelaki hujan yang baru-baru ini diketahui namanya Azam. Mereka kini bagaikan Tom dan Jerry versi baru.


@THE END@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar